Sabtu, 12 Juni 2010
Cerpen Sunset Terakhir
Cerpen inilah jalan cinta ku
Cerpen sahabat ku,masih ingatkah padaku???
"Gak apa2 Yo.. Hari ini aku ada urusan sama Ayah. Kami mo pergi ke suatu tempat." jawab Ify lembut seraya tersenyum.
"Kemana fy?" tanya Rio penasaran.
"Rumah Sakit.."
*****
"Apa?! Kamu pasti bohong kan fy! Kamu gak pernah bilang-bilang tentang penyakitmu!" aku mendorong meja didepan saking kagetnya dg statement Ify.
"Maaf. A.ku.. aku cuma nggak mau kamu sedih.. ka.. kalau.. kalau tiba saatnya aku pergi…"
"NGGAK!"
"Tapi…"
"….."
Aku sedang terlarut dalam pikiranku saat butiran-butiran air mata itu menemani perjalanan pulangku dari Rumah Sakit ke Rumah. Tapi aku tidak peduli. Aku tidak peduli walaupun kini aku sudah mulai kedinginan.
Yang kupikirkan hanyalah Ia. Hanya Ify.
"Umurnya tidak akan lama lagi." dokter yang merawat Ify mengatakan hal itu padaku. Aku benar-benar tidak percaya. Atau mungkin tak ingin percaya. ify, sahabatku yang ku kenal sejak TK itu akan tiada lagi di dunia ini.
Aku sedih melihat nasib sahabatku itu yang dari dulu selalu saja mempunyai masalah. Ibu dan adiknya sudah tiada. Hanya Ayah-nya-lah yang merawat Ify sekarang. Tapi, tidak lama lagi Ayah-nya akan pensiunan. Padahal penyakit Ify itu sudah sangat kronis dan memerlukan biaya yang sangat besar.
Tuhan, mengapa nasib makhluk-Mu selalu.. selau saja seperti sinetron, yang selalu ada halangannya.
"Ify….!" kataku langsung memeluknya. Setiap hari aku menjenguk Ify. Sudah tiga minggu lamanya Ify berbaring di Rumah Sakit. Syukurlah keadaannya mulai membaik.
"Ah., Rio… terima kasih selalu menjengukku…" ucap Ify dengan senyum yang menghiasi bibirnya. Ia terlihat cantik.
"Ya udah deh, kamu mau kuajak ke suatu tempat nggak?"
"Kemana?"
"Ada deh! Mau nggak?"
"Iih.. kemana sih..?"
"Nanti juga kamu tahu! Yang pasti kamu akan suka tempatnya. Aku janji! Mau nggak?"
"Iya deh, tapi ijin dulu ama Ayahku, sama Suster, sama Dokter."
"Iya… gampang. Aku udah ijin. Tinggal kamu doang. Mau atau nggak?"
"Ng.. aku mau! Kalau sama Rio aku percaya! Pasti tempatnya bagus!
"Baiklah! Tanggal 6 Desember ya! Jam 19.00!"
"Malam ulang tahunku?"
"Yap!"
"Aku kan nggak boleh keluar malam-malam, apalagi nanti turun hujan.. "
"Ify.. jangan plin-plan begitu dong… tadi katanya mau.. dokter aja bolehin… mau ya..? please.." pintaku memohon padanya.
"Iya." akhirnya Ify meng'iya'kan. Tapi keliatannya Ia masih ragu.
"Jangan ragu-ragu… ada aku kok yang akan ngelindungin kamu.."
"Sungguh?"
"Ya!" aku meyakinkannya.
"Oke! Aku akan dandan yang cantik buat tanda terima kasihku untuk Rio!" suara Ify terdengar riang.
"Yeee.. aku juga bisa dandan yang ganteng buat Ify!" kataku tak mau kalah darinya. Kami pun tertawa bersama.
"Hmm.. Rio, kita begini selamanya ya…"
"Maksud kamu?"
"Iya, kita berteman terus untuk selamanya."
"Teman? Jadi kamu hanya menganggapku sebatas teman?"
"Ehh..?"
"Aku kan sahabatmu! Sahabatmu!"
"Ah, iya… Kita bersahabat terus untuk selamanya ya.."
"Tentu!" aku tersenyum padanya. Ify pun juga tersenyum padaku.
Sepulang dari rumah sakit, kali ini aku tidak langsung pulang ke Rumah. Aku ingin membeli sesuatu untuk hadiah ulang tahun Ify.
"Kurasa ini cocok untuknya.." gumamku. Aku sudah mendapatkan hadiah yang cocok untuk sahabatku itu. Aku sgera berjalan pelang menuju ke Rumah.
Aku tahu Ia sakit sejak dulu. Aku tahu jika Ia terlalu kelelahan Ia akan langsung dilarikan ke Rumah Sakit. Tapi baru-baru ini aku baru tahu entah sampai kapan umurnya untuk hidup. Aku memang tidak seperti Ify. Aku sehat. Dan dari kesehatanku itulah aku ingin membahagiakan Ify.
Tuhan, kumohon, kumohon berikan aku kesempatan untuk membahagiakannya, membahagiakan Ify. Kumohon…"
Tanggal 6 Desember pun tiba. Jam 19.45 aku menjemput Ify. Lalu kami pergi ke suatu tempat dengan mobilku.
Kami turun dari mobil. Terlihat bukit kecil dengan anak tangga yang bisa ditanjaki.
"Hmm. Rio. Apa kita sudah sampai?" tanya Ify padaku dengan wajah yang terlihat heran, tapi terlihat lucu.
"Belum, Ify." jawabku pendek. Aku menggandeng tangan Ify. Menuntunnya mendaki bukit kecil ini dengan anak tangga yang ada. Tak mengubriskan Ify yang masih keheranan.
"Kita sampai,Ify." dari puncak bukit ini terlihat pohon cemara besar yang telah dihiasi oleh hiasan pohon cemara. Tempat ini sepi. Sepertinya baru sedikit yang mengetahui tempat ini. Hanya ada kami berdua di tempat ini.
Langit dipenuhi bintang-bintang dan senyuman bulan sabit menghiasinya.
"Wah.. indah baget Rio…" Ify sangat senang. Binar matanya memancarkan rasa kagumnya atas pemandangan indah yang dilihatnya.
Tuhan… kumohon jangan pisahkan kami. Aku masih ingin bersama Ify. Masih ingin melihat senyumnya.
"Hmm.. Rio.." suara Ify yang memanggil namaku itu membuyarkan lamunanku.
"Ya, Ify?" tanyaku.
"Mau berjanji padaku?"
"Janji?" tanyaku lagi. Tak mengerti apa maksudnya.
"Berjanjilah, jangan lupakan aku!"
*****
Aku memandang bintang-bintang yang bertaburan dilangit. Seperti senyuman Ify semalam.
"Sahabatku.." gumamku dalam hati.
Aku tersadar dari lamunanku oleh bunyi lagu D'Bagindas - tak seindah malam kemarin sebagai ringtone handphone ku. Saat kulihat, itu dari Ayahnya Ify. Langsung saja kuangkat.
"Iya, kenapa Om?"
"Ify lagi kritis. Dari kemaren, abis kamu pulang Dia udah nggak sadarkan diri. Om kira Dia tidur. Tapi sampai sekarang Dia nggak sadarkan diri. Kata dokter sekarang Dia lagi kritis. Sebaiknya kamu kesini, Rio." terdengar jelas suara Om Oni yang bergetar, khawatir pada keadaan anaknya.
"Aku segera sampai ke sana Om!" aku langsung menutup telpon, segera berangkat ke Rumah Sakit.
Sesampainya disana, aku langsung berlari ke kamar tempat Ify di rawat. Kulihat Om Oni sedang menangis, dan alat detektor jantung Ify menunjukkan sebuah garis lurus. Aku tidak percaya Ify telah meninggal. Padahal kemarin kami baru saja mengobrol. Dan aku benar-benar tidak menduga itu adalah senyuman terakhirnya. Dan itu adalah kata-kata terakhirnya, 'Berjanjilah, jangan lupakan aku!' Ia mengatakannya dengan senyum termanisnya.
Tidak! Ify belum meninggal! Dia masih sehat!
Tapi berapa kalipun kulihat, Dia… Dia memang sudah meninggal.
"IFYYY…!" teriakku di sela-sela isak tangisku.
Tuhan… kenapa Engkau memisahkan kami?
****
"Koak.. Koak..
Burung - burung elang berkoar-koar diatas kuburan itu. Langit berubah hitam, mendung. Seakan ikut merasakan perihnya hatiku saat itu.
Sekarang aku sudah berada di samping makam Ify. Disekitarku ada teman-teman serta Ayah Ify satu-satunya keluarga Ify yang masih ada. Dan kini hujan mulai turun. Semakin lama semakin lebat. Mungkin Ify-lah yang memintanya sebagai permintaan terakhir. Aku tahu itu, karna aku tahu kalau ify suka hujan. Hujan yang akan mengantarnya ke Surga, kembali pada yang Kuasa.
Orang-orang mulai pergi, dan yang tetap berdiri disini hanyalah aku.
"Ify.. kenapa kau pergi secepat ini? Maafkan aku.. aku nggak bisa ngebahagiain kamu di saat terakhir.. aku datang terlambat di saat detik-detik terakhir hidupmu.. maafakan aku Ify…" aku terduduk di samping makam Ify.
Aku menatap langit, dan berkata dalam hati, 'Ify, aku janji tidak akan melupakanmu. Sampai kapanpun, selamanya, kau akan selalu di hatiku. Kau akan kuingat sebagai orang terbaik yang pernah kutemui, dan orang terhebat yang pernah kutemui, itulah dirimu, Alyssa Saufika Umari…'
"Selamat jalan..."
***
Tak tertahan luka ini
Ku menangis tak kuasa
‘tuk menahan pedihnya hatiku
Tanpa ada kata kau meninggalkanku
Menyisahkan luka dihatiku
Betapa sakitnya relung batinku
Merasakan hilangnya cintamu
Malam ini tak seperti
Malam kemarin saat kau peluk aku
Malam ini tak seperti
Malam kemarin saat kau bersamaku
Malam ini tak seindah
Malam kemarin
Jiwa ini tak menduga
Bila ku harus kehilanganmu
Malam ini tak seperti
Malam kemarin
Malam ini tak seindah
Malam kemarin
Kamis, 03 Juni 2010
Asal usul Valintane day
White Day (ホワイトデー Howaito dē ?) (bahasa Indonesia: Hari Putih) adalah hari memberi hadiah untuk wanita yang jatuh tanggal 14 Maret. Perayaan ini berasal dari Jepang dan bukan tradisi Eropa atau Amerika. Hadiah berupa marshmallow atau permen diberikan sebagai balasan atas hadiah cokelat yang diterima pria sebulan sebelumnya di Hari Valentine. Di zaman sekarang, hadiah yang diberikan untuk wanita yang disenangi dapat berupa bunga, saputangan, perhiasan, atau barang-barang lain yang disukai wanita.
Pertama kali dirayakan tahun 1980 di Jepang, perayaan ini sekarang juga dirayakan di negara Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Indonesia. Perayaan Hari Putih berawal dari strategi koperasi produsen permen Jepang yang ingin meningkatkan penjualan permen. Bahan baku permen adalah gula yang berwarna putih sehingga disebut Hari Putih. Ide perayaan diambil dari "Hari Marshmallow" yang merupakan acara promosi kue marshmallow Tsuru no ko yang diadakan toko kue di kota Fukuoka.
Asal-usul
Di Hari Valentine, wanita dari berbagai kelompok umur di Jepang memiliki tradisi memberi hadiah cokelat kepada pria yang disenangi, teman sekolah, rekan kerja, pacar, ayah, atau suami. Pria yang menerima cokelat berkeinginan membalasnya, dan niat ini disambut pedagang permen di sekitar pertengahan tahun 1970-an dengan mencetuskan ide "hadiah balasan" berupa kue kering, marshmallow, atau permen.
Strategi penjualan permen sebagai "hadiah balasan" ternyata berhasil meningkatkan angka penjualan, sehingga koperasi produsen permen nasional wilayah Kanto menetapkan 14 Maret sebagai Hari Putih. Di tahun 1978, koperasi produsen permen menciptakan slogan untuk Hari Putih sebagai "hari untuk mengirim permen". Setelah dipersiapkan selama 2 tahun, perayaan Hari Putih yang pertama dilangsungkan secara nasional di Jepang pada tahun 1980.
Sejarah Nama Indonesia
Catatan masa lalu menyebut kepulauan di antara Indocina dan Australia dengan aneka nama.
Kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan ini sebagai Nan-hai ("Kepulauan Laut Selatan").
Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara ("Kepulauan Tanah Seberang"), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa ("Pulau Emas", diperkirakan Pulau Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab, luban jawi ("kemenyan Jawa"), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "orang Jawa" oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia dari luar Jawa sekali pun. Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama Samathrah (Sumatera), Sholibis (Pulau Sulawesi), dan Sundah (Sunda) yang disebut kulluh Jawi ("semuanya Jawa").
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang", sementara kepulauan ini memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang kelak juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais).
Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya di kepulauan ini.
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu "Insulinde", yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (dalam bahasa Latin "insula" berarti pulau). Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di awal abad ke-20.
Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: "Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur")), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations ("Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia"). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia ("nesos" dalam bahasa Yunani berarti "pulau"). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris):
- "... Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia"".
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago ("Etnologi dari Kepulauan Hindia"). Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah Indian Archipelago ("Kepulauan Hindia") terlalu panjang dan membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. [1]
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia):
- "Mr Earl menyarankan istilah etnografi "Indunesian", tetapi menolaknya dan mendukung "Malayunesian". Saya lebih suka istilah geografis murni "Indonesia", yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia"
Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. [1]
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel ("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch ("Hindia") oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander ("pribumi") diganti dengan Indonesiër ("orang Indonesia").
Politik
Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu. [1]
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,
- "Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia-Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."
Di Indonesia Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia-Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama Indonesië diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Permohonan ini ditolak.
Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia-Belanda". Pada tanggal 17 Agustus 1945, menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia.
Simbiosis
Simbiosis berasal dari bahasa Yunani sym yang berarti dengan dan biosis yang berarti kehidupan. Simbiosis merupakan interaksi antara dua organisme yang hidup berdampingan.
Simbiosis merupakan pola interaksi yang sangat erat dan khusus antara dua makhluk hidup yang berlainan jenis. [1] Makhluk hidup yang melakukan simbiosis disebut simbion[1].
Ada beberapa bentuk simbiosis yakni:
- Simbiosis parasitisme adalah di mana pihak yang satu mendapat keuntungan dan merugikan pihak lainnya. Contoh:
- Simbiosis mutualisme adalah hubungan sesama mahkluk hidup yang saling menguntungkan kedua pihak. Contohnya:
- Simbiosis komensalisme adalah di mana pihak yang satu mendapat keuntungan tapi pihak lainnya tidak dirugikan dan tidak diuntungkan. Contoh:
- Ikan badut dengan anemon laut
- Tumbuhan pakis dengan anggrek dan tumbuhan inangnya.
- Simbiosis Amensalisme, yaitu saat satu pihak dirugikan dan pihak lainnya tidak diuntungkan maupun dirugikan.[2]
- Kompetisi, di mana kedua pihak saling merugikan, biasanya terjadi melalui kompetisi dalam memperebutkan makanan.[2]
- Simbiosis netralisme, dimana kedua pihak tidak saling diuntungkan maupun dirugikan. Interaksi antar kedua spesies tidak menyebabkan keuntungan maupun kerugian bagi keduanya.[2]
Simbiosis dapat dibedakan menjadi dua kategori berbeda.
Sejarah Soekarno
Ir. Soekarno1 (ER, EYD: Sukarno) (lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun) adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945 - 1966.[1] Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah penggali Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial, yang isinya - berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan darat - menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi kepresidenan. Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen. Setelah pertanggung jawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967, Presiden Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS di tahun yang sama dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.
Kehidupan
Masa kecil
Soekarno dilahirkan dari seorang ayah yang bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya yaitu Ida Ayu Nyoman Rai.[1] Keduanya bertemu ketika Raden Soekemi yang merupakan seorang guru ditempatkan di Sekolah Dasar Pribumi di Singaraja, Bali.[1] Nyoman Rai merupakan keturunan bangsawan dari Bali dan beragama Hindu sedangkan Raden Soekemi sendiri beragama Islam.[1] Ketika dilahirkan, Soekarno diberikan nama Kusno Sosrodihardjo oleh orangtuanya.[1] Namun karena ia sering sakit maka ketika berumur lima tahun namanya diubah menjadi Soekarno oleh ayahnya.[1] [2] Nama tersebut diambil dari seorang panglima perang dalam kisah Bharata Yudha yaitu Karna.[1] [2] Nama "Karna" menjadi "Karno" karena dalam bahasa Jawa huruf "a" berubah menjadi "o" sedangkan awalan "su" memiliki arti "baik".[2]
Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur.[1] Pada usia 14 tahun, seorang kawan bapaknya yang bernama Oemar Said Tjokroaminoto mengajak Soekarno tinggal di Surabaya dan disekolahkan ke Hoogere Burger School (H.B.S.) di sana sambil mengaji di tempat Tjokroaminoto. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu. Soekarno kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).
Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung, dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, Soekarno berinteraksi dengan Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.
Keluarga Soekarno
| | | Raden Soekemi Sosrodihardjo | | Ida Ayu Nyoman Rai | | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | | | | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | Soekarno (1901-1970) | | | | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | | | Oetari (istri ke-1; menikah 1921; berpisah 1923) | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | | | | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | | | Inggit Garnasih (istri ke-2; menikah 1923) | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | | | | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | | | Fatmawati (istri ke-3; menikah 1943) | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | |||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | | | | | | | | | | | | | ||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | Guntur (l.1944) | | Megawati (l.1947) | | Rachmawati (l.1950) | | Sukmawati (l.1952) | | Guruh (l.1953) | |||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | | | | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | | | Hartini (istri ke-4; menikah 1952) | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | | | | | | | | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | Taufan (l.1951 w.1981) | | Bayu (l.1958) | | | | | | | |||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | | | | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | | | Ratna Sari Dewi Soekarno (istri ke-5; menikah 1962) | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | | | | | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | Kartika (l.1967) | | | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | | | | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | | | Haryati (istri ke-6; menikah 1963) | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | | | | | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | Ayu | | | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | | | | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | | | Yurike Sanger (istri ke-7; menikah 1964) | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | | | | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | | | Kartini Manoppo (istri ke-8) | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | | | | | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | Totok (l.1967) | | | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | | | | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | | | | | | | | Heldy Djafar (istri ke-9; menikah 1966) | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| | | |
Kiprah politik
Masa pergerakan nasional
Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap Belanda pada bulan Desember 1929, dan memunculkan pledoinya yang fenomenal: Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931.
Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hasan.
Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu.
Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Masa penjajahan Jepang
Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk "mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.
Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memperhatikan dan sekaligus memanfaatkan tokoh tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H Mas Mansyur dan lain lainnya disebut-sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.
Presiden Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerjasama dengan Jepang sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri.
Ia aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, diantaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945 dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke Rengasdengklok Peristiwa Rengasdengklok.
Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.
Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang membuat Soekarno dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang,antara lain dalam kasus romusha.
Masa Perang Revolusi

Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI,Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi), Panitia Kecil yang terdiri dari sembilan orang/Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, Soekarno-Hatta mendirikan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air Peta Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang berkembang adalah Soekarno menetapkan moment tepat untuk kemerdekaan Republik Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan bulan turunnya wahyu pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi presiden dan wakil presiden dikukuhkan oleh KNIP.Pada tanggal 19 September 1945 kewibawaan Soekarno dapat menyelesaikan tanpa pertumpahan darah peristiwa Lapangan Ikada dimana 200.000 rakyat Jakarta akan bentrok dengan pasukan Jepang yang masih bersenjata lengkap.
Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir Phillip Christison, Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto setelah mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga berusaha menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun akibat provokasi yang dilancarkan pasukan NICA (Belanda) yang membonceng Sekutu. (dibawah Inggris) meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan gugurnya Brigadir Jendral A.W.S Mallaby.
Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti wakil presiden dan pejabat tinggi negara lainnya.
Kedudukan Presiden Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden selaku kepala pemerintahan dan kepala negara (presidensiil/single executive). Selama revolusi kemerdekaan,sistem pemerintahan berubah menjadi semi-presidensiil/double executive. Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara dan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri/Kepala Pemerintahan. Hal itu terjadi karena adanya maklumat wakil presiden No X, dan maklumat pemerintah bulan November 1945 tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar Republik Indonesia dianggap negara yang lebih demokratis.
Meski sistem pemerintahan berubah, pada saat revolusi kemerdekaan, kedudukan Presiden Soekarno tetap paling penting, terutama dalam menghadapi Peristiwa Madiun 1948 serta saat Agresi Militer Belanda II yang menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan sejumlah pejabat tinggi negara ditahan Belanda. Meskipun sudah ada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua Sjafruddin Prawiranegara, tetapi pada kenyataannya dunia internasional dan situasi dalam negeri tetap mengakui bahwa Soekarno-Hatta adalah pemimpin Indonesia yang sesungguhnya, hanya kebijakannya yang dapat menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda.
Masa kemerdekaan
Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno. Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.
Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat dikalangan rakyat dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh bangunnya kabinet yang terkenal sebagai "kabinet seumur jagung" membuat Presiden Soekarno kurang mempercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya sebagai "penyakit kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas pada jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di kalangan Angkatan Udara.
Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat "bom waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang merubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan Indonesia.
Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (RRC).
Kejatuhan
Masa-masa kejatuhan Soekarno dimulai sejak ia "bercerai" dengan Wakil Presiden Moh. Hatta, pada tahun 1956, akibat pengunduran diri Hatta dari kancah perpolitikan Indonesia. Ditambah dengan sejumlah pemberontakan separatis yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia, dan puncaknya, pemberontakan G 30 S, membuat Soekarno di dalam masa jabatannya tidak dapat "memenuhi" cita-cita bangsa Indonesia yang makmur dan sejahtera.
Sakit hingga meninggal
Kesehatan Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus 1965.[3] Sebelumnya, ia telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah menjalani perawatan di Wina, Austria tahun 1961 dan 1964.[3] Ia masih bertahan selama 5 tahun sebelum akhirnya meninggal pada hari Minggu, 21 Juni 1970 di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta dengan status sebagai tahanan politik.[3] [1] Jenazah Soekarno pun dipindahkan dari RSPAD ke Wisma Yasso yang dimiliki oleh Ratna Sari Dewi.[3] Sebelum dinyatakan wafat, pemeriksaan rutin terhadap Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter Mahar Mardjono yang merupakan anggota tim dokter kepresidenan.[3] Tidak lama kemudian dikeluarkanlah komunike medis yang ditandatangani oleh Ketua Prof. Dr. Mahar Mardjono beserta Wakil Ketua Mayor Jenderal Dr. (TNI AD) Rubiono Kertopati.[3]
Komunike medis tersebut menyatakan hal sebagai berikut:[3]
- Pada hari Sabtu tanggal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan kesehatan Ir. Soekarno semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
- Tanggal 21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Ir. Soekarno dalam keadaan tidak sadar dan kemudian pada jam 07.00 Ir. Soekarno meninggal dunia.
- Tim dokter secara terus-menerus berusaha mengatasi keadaan kritis Ir. Soekarno hingga saat meninggalnya.
Walaupun Sekarno pernah meminta agar dirinya dimakamkan di Istana Batu Tulis, Bogor namun pihak militer memilih Kota Blitar, Jawa Timur, yang merupakan kota kelahirannya, sebagai tempat pemakaman Soekarno.[3]
Peninggalan

Pada tanggal 19 Juni 2008, Pemerintah Kuba menerbitkan perangko yang bergambar Soekarno dan presiden Kuba Fidel Castro.[4] Penerbitan itu bersamaan dengan ulang tahun ke-80 Fidel Castro dan peringatan "kunjungan Presiden Indonesia, Soekarno, ke Kuba".
Penamaan
Nama lengkap Soekarno ketika lahir adalah Kusno Sosrodihardjo.[5] Ketika masih kecil, karena sering sakit-sakitan, menurut kebiasaan orang Jawa[rujukan?]; oleh orang tuanya namanya diganti menjadi Soekarno[rujukan?]. Di kemudian hari ketika menjadi Presiden R.I., ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah (Belanda)[rujukan?]. Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah[rujukan?].
Sebutan akrab untuk Ir. Soekarno adalah Bung Karno.
Achmed Soekarno
Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed Soekarno. Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya, "Siapa nama kecil Soekarno?" karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian masyarakat di Indonesia yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama keluarga. Entah bagaimana, seseorang lalu menambahkan nama Achmed di depan nama Soekarno. Hal ini pun terjadi di beberapa Wikipedia, seperti wikipedia bahasa Ceko, bahasa Wales, bahasa Denmark, bahasa Jerman, dan bahasa Spanyol.
Sukarno menyebutkan bahwa nama Achmed di dapatnya ketika menunaikan ibadah haji.[6]
Dan dalam beberapa versi lain, disebutkan pemberian nama Achmed di depan nama Sukarno, dilakukan oleh para diplomat muslim asal Indonesia yang sedang melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan negara Indonesia oleh negara-negara Arab.